JIB | Jakarta,- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pendanaan negara kepada partai politik (parpol) memiliki urgensi, mengingat parpol merupakan salah satu institusi demokrasi yang strategis.
“Ini karena memiliki fungsi, tugas dan tanggung jawab melakukan rekrutmen politik,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam paparan hasil kajian Skema Ideal Pendanaan Partai Politik kepada enam parpol pada Rabu (11/12) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Agus menyampaikan pandangan KPK bahwa demokrasi yang terkonsolidasi membutuhkan parpol yang solid dan sehat secara organisasi, demokratis secara internal, berintegritas dan terinstitusionalisasi. Sehingga, pembiayaan parpol oleh negara secara signifikan diperlukan untuk mengambil alih kepemilikan sekaligus kepemimpinan parpol dari individu-individu pemilik uang.
“Harapannya, ke depan parpol benar-benar menjadi badan hukum publik yang dimiliki para anggota dan dipimpin secara demokratis oleh anggota sebagaimana semangat UU Partai Politik,” katanya.
Kesempatan itu juga dihadiri Pimpinan KPK lainnya Basaria Panjaitan, Deputi Pencegahan Pahala Nainggolan, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Giri Suprapdiono beserta tim peneliti dari LIPI Syamsudin Harris dan Moch. Nurhasim.
Kajian yang merupakan hasil kerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini bertujuan untuk mencari skema ideal sebagai dasar (baseline) pemberian dana bantuan pemerintah kepada parpol, memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang besaran dana bantuan kepada parpol dan persyaratan administratif serta tata kelola internal parpol yang harus dipenuhi.
“Tujuan akhirnya adalah rekomendasi skema besaran pendanaan partai ini dapat mengurangi korupsi politik,” kata Agus.
Estimasi kebutuhan anggaran yang dikumpulkan dalam kajian dari lima partai, yakni Golkar, PKB, PDIP, Gerindra dan PKS diperoleh harga sebesar Rp16.922 per suara. Kelima partai ini memiliki perolehan suara lebih dari 50% pada pemilu 2019.
Bantuan pendanaan akan diberikan maksimal 50% kebutuhan anggaran parpol agar parpol tetap memililki ruang untuk mengembangkan parpol. Selain itu, bantuan dana akan diberikan dalam jangka waktu lima tahun secara bertahap. Tahun pertama diberikan 30%, di tahun kedua 50%, tahun ketiga 70%, tahun keempat 80% hingga tahun kelima menjadi 100% dari 50% bantuan pendanaan negara kepada parpol. Bantuan pendanaan negara hanya untuk membiayai kebutuhan operasional parpol dan pendidikan politik, tidak termasuk dana kontestasi politik.
Dengan estimasi dan skema pendanaan tersebut maka untuk tahun pertama di tingkat pusat, negara perlu mengalokasikan dana Rp320 miliar dengan asumsi suara pemilih 126 juta pada pemilu 2019. Membandingkan dengan APBN 2019 sekitar Rp2.400 triliun, angka ini relatif kecil yakni 0,0046%. Hingga tahun kelima estimasi total bantuan pendanaan yang akan dialokasikan negara untuk parpol sebesar Rp3,9 triliun. Perhitungan ini lebih rendah dibandingkan dengan rekomendasi Bappenas yang didasarkan pada suara PDIP sebesar Rp48.000 per suara. Sehingga, negara perlu mengalokasikan dana sebesar Rp6 triliun.
Sedangkan, di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan PP No. 1 tahun 2018 bahwa pendanaan provinsi naik 20% dari pendanaan tingkat nasional dan kabupaten/kota naik 50%. Maka, di tahun pertama negara perlu mengalokasikan dana Rp928,7 miliar. Dengan skema peningkatan bertahap dan estimasi inflasi 5%, maka hingga tahun kelima untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota negara perlu mengalokasikan dana total Rp 11,2 triliun. Sehingga, total secara nasional pendanaan negara untuk keuangan parpol sebesar Rp15,1 triliun.
Namun demikian, Agus mengingatkan bahwa bantuan pendanaan negara ini membutuhkan persyaratan. Sebagaimana telah disampaikan KPK dalam kajian terdahulu tentang Sistem Integritas Partai Politik (SIPP), maka parpol wajib menerapkan SIPP. Lima komponen utama dalam SIPP meliputi kode etik, demokrasi internal parpol, kaderisasi, rekrutmen dan keuangan parpol.
“Pemerintah perlu melakukan evaluasi penggunaan pendanaan negara, salah satunya dengan menggunakan tools SIPP,” tegas Agus.
Selain itu, Agus menambahkan, untuk mendorong akuntabilitas pelaporan keuangan parpol, pendanaan negara kepada partai politik harus diaudit oleh BPK dan hasil auditnya diumumkan kepada publik secara berkala. Sebab, membangun organisasi parpol yang bersih dan berintegritras ditentukan oleh salah satunya pengelolaan keuangan parpol secara baik.
Untuk memperkaya kajian, tim juga melakukan studi terkait praktik yang sama di 20 negara. Hampir semua negara yang dijadikan pembelajaran menunjukkan peran negara yang memberikan dana bantuan kepada parpol. Yang membedakannya adalah besaran dan peruntukannya. Besaran bantuan negara untuk parpol beragam mulai dari 23% hingga 90%.
Seperti di Jepang dan Belanda bantuan pendanaan parpol oleh negara termasuk yang paling kecil sebesar masing-masing 23% dan 35%. Paling tinggi pendanaan negara untuk parpol sebagaimana praktik di Turki. Sementara di Malaysia, negara tidak memberikan bantuan dana untuk parpol, tetapi mengizinkan parpol untuk berbisnis.
Sebelumnya, KPK pernah melakukan kajian tentang pendanaan negara untuk partai politik. Hasil kajian merekomendasikan penambahan pendanaan negara untuk parpol sebesar Rp1.000 dari sebelumnya Rp108 per suara. Dalam skema pendanaan tersebut, KPK merekomendasikan kenaikan pendanaan secara bertahap hingga Rp10.706 dalam 10 tahun. Kajian ini memperbaiki perhitungan dengan data yang lebih lengkap berdasarkan kondisi riil kebutuhan anggaran parpol dari laporan keuangan lima parpol tersebut.
(Dre)
Sum: Humas kpk.go.id