JIB | Kabupaten Bekasi- Kepala daerah seperti apa yang pantas, layak dan mampu di Bekasi era terkini dan mendatang ? Tentunya, membutuhkan paduan antara terpeliharanya tradisi dan budaya yang harus lestari dengan keterbukaan terhadap modernisasi dan globalisasi.
Masyarakat Industri Global sangat tepat dan pas untuk dilekatkan pada masyarakat dan warga Bekasi terkini. Saya menyebutnya : KABEK (Kabupaten Bekasi), sekedar membedakan secara administrasi pemerintahan daerah dengan KOTA Bekasi (Kobek).
Bekasi bukan lagi warga lokal saja. Bukan hanya sunda, betawi atau banten. Bukan pula hanya dari perwakilan nusantara mini : suku jawa, batak, melayu, timur, bali, dsb. Bahkan, sekitar perwakilan dari 30 warga negara asing – sebut warga mancanegara – sudah ada dan tinggal sejak 30 tahun lalu.
Bekasi pun tak lagi agraris. Bahkan kebanyakan area pertanian, perkebunan, tani dan nelayan lahannya berubah drastis menjadi kawasan industri, perumahan dan area pabrik, serta kota-kota baru yang membentang hutan beton dan kemewahan. Semua terlindas oleh ketamakan dan keserakahan yang tak manusiawi dan tak
Ramah lingkungan.
Roda perekonomian berjalan 24 jam tanpa henti. Mobilitas dan transformasi ekonomi berjalan cepat, bahkan sangat cepat dan melesat. Ada kemajuan, ada juga kemunduran. Ada yang datang, ada juga yang hilang. Masalah sosial, ekonomi, hukum, pendidikan, kebudayaan dan kemanusiaan makin kusut, amburadul dan kompleks.
Potret kesenjangan sosial ekonomi sangat tajam. Kesenjangan dan ketidakadilan kawasan, antar kota desa, utara selatan, bahkan antar tetangga, sungguh ironi dan mengenaskan. Angka bunuh diri meningkat, muncul rasa frustasi, hopeless, distrust (ketidak percayaan) terhadap lingkungan meningkat.
Apakah warga pribumi, yang terlahir dan tumbuh di Bekasi merasa makmur, bahagia dan berdaya ? Siapa yang menjadi penikmat atas kemajuan industri ? Siapa jadi penonton, siapa jadi korban ? Apakah, para warga pribumi sudah menjadi tuan dan pemilik di rumah sendiri ?
Tidak juga dan mustahil, arus besar dan cepat migrasi ke Bekasi diabaikan. Bahkan, saat ini, pemain utama ekonomi dan industri bukanlah warga Bekasi, bukan pula warga asli WNI. Bekasi sudah menjadi kawasan warga global (Global Society), bukan lagi lokal melulu. Bagaimana memadukan tata kehidupan yang Makmur Bahagia dan Berdaya lahir batin secara harmoni bagi semua lapisan warga ?
Reformasi dan demokrasi langsung Pemilu Kepala Daerah di Bekasi patut jadi renungan. Setiap warga punya kesempatan memilih. Pernah terpilih dan mendapat amanah dalam Pilkada 2007 : Bupati-Wabup : Sa’duddin-Darip Mulyana, dilanjutkan 2012 : Bupati-Wabup : Neneng Hasanah Yasin-Rohim Mintaredja, dan 2017 : Bupati-Wabup : Neneng Hasanah Yasin – Eka Supri Atmaja, diwarnai tragedi prahara kasus Megakorupsi yang menghebohkan.
Patut menjadi tafakkur bersama, apakah pemilihan langsung didasari faktor keterpilihan secara visioner, kualitas dan keunggulan atau justru karena proses transaksional dan money politic ?
Mengapa hingga sekarang, kita belum mendengar adanya reputasi dan prestise, keunggulan Kepala Daerah Bekasi menjadi role model, trend setter dan berdaya saing seperti kepala daerah lainnya ? Sebut saja : Jokowi sangat harum dari Walikota Solo, Ridwan Kamil dari Kota Bandung, Risma di Surabaya. So, apa yang menjadi kebanggaan, rasa takdzim dan kemuliaan atau penghargaan kita atau pihak lain atas prestasi dan keunggulan Kepala Daerah yang kita pilih dan kita dukung ?
Apa prestasi dan kemajuan yang dapat kita banggakan ? Hal yang paling mengenaskan adalah betapa aneh bin ajaib di tengah ribuan pabrik dan perusahaan, pengangguran membanjir. Cari kerja sulit, mahal, bahkan diperas. Banyak calo dan mafia agen tenaga kerja dibiarkan.
Sampai saat ini, belum ada solusi dan eksekusi yang pasti. Sebagian bilang, pemerintahan dan warga di
Bekasi, abnormal, karena masalah pengangguran dan kesenjangan alias ketimpangan ekonomi, kaya-miskin, tuan tanah-korban penggusuran, kawasan elit-kawasan kumuh, banjir, air bersih langka, polusi udara sangat
Buruk, tata kelola sampah sangat amburadul. Tingkat keamanan dan rasa aman juga banyak titik
Rawannya. Dimana harmoni dan kemajuan bisa dinikmati oleh warga ?
Kemana keuntungan, uang dan investasi yang dicetak 24 jam di kawasan industri itu ? Siapa paling diuntungkan siapa dikorbankan ?
Begitulah potret nyata, fakta dan realita Bekasi masa kini. Lebih dari 3 kali Pilkada, harapan melahirkan pemimpin yang mampu memberi
Solusi dan Eksekusi atas masalah warga Bekasi belum sesuai harapan. Sejarah tak pernah pupus akhirnya terbukti, uang bukan solusi, demokrasi dengan transaksi malah menimbulkan bencana. Kita butuh recovery, pemulihan kepercayaan publik dan rakyat.
Rakyat nya pun perlu mengasah kesadaran moral dan intelektual. Budaya money politic, transaksi dan pragmatis, memilih pemimpin semata karena uang, uang cendol, Nomor Piro Wani Piro, harus segera dikikis dari penyakit korupsi berjamaah yang makin parah.
Perhelatan siapa Wakil Bupati yang terbaik dan pantas mendampingi Bupati Eka, tentunya tak banyak
bisa kita harapkan untuk perubahan fundamental yang luar biasa. Masa kerja efektifnya hanya 2 tahun. Selebihnya pasti sibuk agenda Pilkada 2022.
Apakah Golkar rela atau bisa berani mengambil Calon Non Kader. Apakah para dewan yang akan memilih akan keluar dari tradisi politik uang ? Apakah bebas dari
Mahar ? Beban moral dan tanggung jawab terbesar ada pada Bupati dan Golkar serta partai pengusung. Masihkah rakyat bisa percaya, hasilnya akan sesuai aspirasi rakyat ?
Tentu saja, faktor yang berkembang dalam demokrasi terbuka selayaknya memberikan kesempatan bagi semua. Tak dipungkiri, aspirasi putera daerah sangat dimaklumi menimbang
Local
Wisdom dalam semangat otonomi daerah serta kesempatan setiap warga daerah membangun daerahnya sendiri. Namun, semua bukan karena alasan primordial atau emosianal.
Semangat putera daerah untuk membangun daerah patut diapresiasi, dihargai. Namun, aspek Keahlian (kompetensi), Pengalaman, Integritas Moral serta
Kemampuan memberi Solusi dan Eksekusi terbaik itu menjadi
Pertimbangan utama.
Saya meyakini, pontensi dan kemampuan putera daerah Bekasi sangat mumpuni dan lebih dari layak. Justru kendalanya ada pada longgarnya semangat bersatu dan bersama di lingkungan warga daerah sendiri. Saling sikat, saling sikut, saling gilas dan saling lindas.
Mentalitas kacung, budak dan lebih nyaman mengorbankan warga dan sesama warga sendiri menjadikan kultur dan kehidupan sosial yang tidak solid. Banyak ormas, lembaga dan organisasi tapi saling bertikai. Sementara, warga pendatang lebih solid dan membangun solidaritas kuat.
Secara ekonomi, investasi, kualitas SDM maupun spirit solidaritas warga pribumi
tersisih dan terkalahkan. Malah sangat mudah diadu domba. Jadilah warga yang terpecah belah. Bahkan dicampakkan sbg warga yang dicap sebagi sumberdaya rendah, gak bisa bersaing dan malas. Dituduh lebih banyak gunakan otot daripada otak.
Saya pernah mendapat kesempatan menjadi Calon Bupati termuda (2017), tanpa
Mahar dan tanpa sesenpun
melakukan transaksi, money politic ataupun serangan fajar. Saya juga pernah mencoba menjadi Caleg DPR RI agar putera daerah meraih kemenangan. Faktanya, budaya money politik dan serba transaksional warga sampai panitia pemilu masih sangat kental dan dominan. Saya memang kalah suara. Money Talk, uang yang bicara dan uang yang menentukan kemenangan.
Nah, pertanyaannyq, sampai kapan kita lebih mengutamakan kekuatan uang dan pragmatisme dibanding kemajuan dan kehormatan, martabat menjadi warga beradab ?
Bagaimana orang baik, sholeh, visioner, ahli dan berpengalaman bisa tampil menjadi Pemimpin kalau budaya politiknya masih seperti rimba raya kebun binatang, siapa kuat uangnya itulah yang menang ?
Moga ada saatnya dan momentum kesadaran bersama, Bekasi harus meraih kemuliaan, kehormatan dan martabatnya dimulai dengan memilih Pemimpin yang terbaik sehingga bisa menghadirkan perubahan besar dan harapan setiap warga.
Salam Mahadaya !!! (*)