Jurnal Indonesia Baru

Memaknai Pilpres, Pileg dan Pilkada Serentak Tahun 2024

H. Syahrir.,SE.,M.I.Pol.

Oleh : H. Syahrir.,SE.,M.I.Pol.


Pemilihan Umum (Pemilu) yang bebas dan adil adalah Pemilu yang secara nyata diselenggarakan secara demokratis. Pemilu yang bebas dan adil merupakan salah satu indikator prosedural bagi ada tidaknya demokrasi di suatu Negara. Bagaimana Pemilu itu
dilaksanakan, berikut implikasi-implikasinya, juga bisa dijadikan indikator tentang bagaimana demokrasi di suatu Negara.

Hal ini berarti jika suatu Negara menjalankan Pemilu secara curang, maka dapat dipastikan demokrasi di Negara tersebut belumlah berjalan secara baik. Dengan demikian, Pemilu dapat dipandang sebagai cerminan jiwa dan perilaku elite yang memerintah
di satu sisi dan cerminan rakyat yang secara politik pada sisi yang lain. Karena itu Indonesia harus mampu membuktikan sebagai negara yang demokratis.

Pemerintah pun harus mampu membuktikan bahwa dari Pemilu ke Pemilu yang terselenggara di era Regim ini dapat dikatakan seluruhnya tidak diselenggarakan atas kehendak elite yang berkuasa dengan cara
memanipulasi kehendak rakyat.

Pemilu merupakan mekanisme politik untuk mengganti kepemimpinan yang diikhtiarkan menyegarkan kembali moralitas dan komitmen kerakyatan. Pemilu juga merupakan cara yang paling baik bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam sistem demokrasi perwakilan modern.

Partisipasi rakyat dalam kehidupan politik yang salah satu bentuknya adalah berpartisipasi dalam Pemilu merupakan wujud dari penunaian hak konstitutional mereka. Hak konstitutional rakyat berupa memilih pimpinan secara berkala dalam bentuk Pemilu, antara lain Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan wujud dari demokrasi di mana rakyat sebagai pemilik kedaulatan, mendelegasikan wewenang kekuasaannya kepada sekelompok orang yang dipercayanya dalam konteks eksekutif, legislatif,
dan yudikatif.

Jadi, pemimpin yang terpilih melalui Pilpres, Pileg dan Pilkada yang demokratis adalah pemimpin rakyat yang legitimate. Dalam konteks ini demokrasi bermakna adanya kesempatan bagi rakyat untuk menerima atau menolak orang-orang yang akan memerintah mereka.

Ia adalah sebuah mekanisme untuk menyeleksi pemimpin, tetapi pada saat yang sama mencegah terjadinya kesewenang-wenangan sang pemimpin setelah duduk dalam kekuasaan.

Dengan demikian Pilpres, Pileg dan Pilkada memainkan peran penting sebagai:
1) suatu bentuk usaha perubahan secara damai;
2) Pemilu menjadi arena kontestasi dan kompetisi
berbagai kekuatan politik secara adil; serta
3) dengan Pemilu maka ada upaya membuat jarak
antara lembaga dengan rakyat menjadi dekat.

Setidaknya terdapat dua mekanisme yang secara
efektif dapat mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dalam sistem yang demokratis,
yaitu: pemilihan umum yang bersifat regular serta kompetisi yang terbuka dan sederajat di
antara partai-partai politik. Maka, secara hakiki, demokrasi menghendaki agar Pemilu untuk
wakil rakyat dan kepemimpinan pemerintahan menjamin adanya “PELUANG YANG SAMA” bagi
setiap partai dan kandidat pemimpin untuk meraih kemenangan berdasarkan pilihan bebas dari
rakyat yang sesungguhnya berdaulat.

Dalam konteks Pemilu, dapat dikemukakan, Pemilu adalah bentuk respon negara/pemerintah dalam upaya menunaikan kewajibannya memenuhi kebutuhan dan
kepentingan rakyat menyalurkan hak konstitusional untuk memilih pemimpinnya secara langsung di ranah legslatif dan eksekutif untuk selanjutnya juga terpilih pemimpin yang mengisi lembaga yudikatif.

Sehingga terpilihlah pilar pemerintah dalam pengertian yang luas, meliputi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Selain itu alasan mendasar lainnya tentang pentingnya pemilu, adalah rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Pada Negara yang menjalankan sistem demokratis, maka rakyatlah sebagai pemilik kedaulatan.

Rakyat berhak mengganti sebuah pemerintahan yang dipandang sudah tidak lagi mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, melalui pilihan suara mayoritas yang diperoleh lewat pemilihan umum yang bebas. Sejalan dengan itu demokrasi bermakna
karena adanya kesempatan bagi rakyat untuk menerima atau menolak orang-orang yang akan
memerintah mereka. Ia adalah sebuah mekanisme untuk menyeleksi pemimpin, tetapi pada saat yang sama mencegah terjadinya kesewenang-wenangan sang pemimpin setelah duduk dalam kekuasaan.

Mekanisme yang dimaksud, adalah pemilihan umum yang bersifat regular. Hal ini juga berarti Pemilu adalah sebuah mekanisme yang memberi peluang yang sama kepada setiap rakyat (calon pemimpin) dan partai politik untuk tampil dan meraih kemenangan berdasarkan pilihan bebas rakyat yang berdaulat. Atas dasar argumentasi yang dikemukakan ini, dapat dikemukakan pemilu adalah produk atau bentuk kebijakan publik untuk memenuhi tuntutan kebutuhan rakyat untuk memilih pimpinannya secara berkala dan memberi peluang kepada setiap orang (warga Negara yang telah memenuhi syarat) yang berminat dan memiliki kemampuan memimpin untuk tampil bersaing dan memperoleh kemenangan pada suatu event demokrasi yang bernama pemilu.

Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia dewasa ini, setidaknya hal itu tampak pada Pilpres, Pileg dan Pilkada 2019. Pemilu sebagai wujud dari pelaksanaan demokrasi, adalah bentuk aktivitas politik yang melibatkan elite politik dan rakyat. Sungguhpun begitu kegiatan pemilu melibatkan proses administrasi yang independen, diselenggarakan oleh organisasi
penyelenggara pemilu (KPU) dan berbagai organisasi lainnya yang terlibat baik secara langsung maupun secara tidak langsung, sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Bukan itu saja, hiruk pikuk keterlibatan individu juga sangat tampak dalam kegiatan ini, seperti keterlibatan para pengamat dan pemerhati yang sedikit banyaknya perlu pengaturan.

Proses pelaksanaan pemilu melibatkan proses administrasi yang tidak sederhana, sehingga aturan main diperlukan dalam bentuk kebijakan, terutama untuk menjaga independensi penyelenggaraan kegiatan ini. Regulasi tentang Pemilu secara tegas menyebutkan: penyelenggaraan Pemilu berpedoman kepada azas: mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib
penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas,
akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas.

Terkait dengan pelaksanaan Pilpres, Pileg dan Pilkada Serentak pada tahun 2024 nanti, penulis mendukung wacana pemerintah untuk memajukan tahapan Pemilu 2024 dari April 2024 menjadi ke Februari 2024. Penulis memliki anggapan bahwa hal itu bisa meminimalisir kerumitan yang timbul karena banyaknya agenda pemilihan di tahun itu. Selain itu dapat meminimalisir
anggaran, serta menekan tingkat kebosanan pemilih menjadi rendah. Dari sisi regulasi juga tidak masalah karena di UU Pemilu disebutkan paling lama 20 bulan sebelum hari H, jadi kalau ingin dibuat lebih cepat tidak menjadi masalah. Pada tahun 2024, selain Pileg dan Pilpres, akan juga ada Pilkada yang akan berlangsung November 2024. Penulis memprediksi akan memunculkan kerumitan tersendiri karena himpitan waktu yang sangat ketat. Dengan percepatan waktu tahapan Pemilu, penulis berharap penyelenggara memiliki waktu yang lebih untuk bersiap. Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan, harus disimulasikan dengan baik, seperti menyiapkan SDM, anggaran,
serta adanya manajemen risiko supaya pengalaman 2019 tidak terulang.

Penulis memperingatkan resiko melonjaknya anggaran. Terakhir, KPU mengajukan anggaran mencapai Rp 86 triliun untuk Pemilu 2024 saja. Sebelumnya, diketahui KPU yang mengusulkan pelaksanaan Pemilu 2024 dipercepat dari 21 April 2024 menjadi 21 Februari 2024 dengan alasan menghindari kekosongan untuk pencalonan pilkada. Tidak hanya itu, Komisi
Pemilihan Umum juga mengusulkan ke pemerintah dan DPR agar Pilkada turut digelar pada 20 November 2024.

Walaupun demikian, dua tanggal itu masih bersifat usulan dan belum dibahas atau disetujui oleh pemerintah dan DPR.

Di akhir tulisan ini penulis menyarankan agar pelaksanaan Pilpres, Pileg dan Pilkada
Serentak pada tahun 2024 dapat berjalan jauh lebih lancar dibandingkan pelaksanaan tahun 2019
yang memakan biaya besar serta memakan korban ratusan panitia pemilu yang meninggal akibat
kelelahan. Beberapa saran yang dapat penulis sampaikan adalah hendaknya KPU membuat skema
dan teknis pemilu sesederhana mungkin seperti memperkecil surat suara, menyederhanakan
formulir penghitungan suara serta digunakannya metode penghitungan suara melalui e-counting
agar panitia tidak mengalami kesulitan dan kelelahan dalam proses penghitungan suara.