JIB | BANDUNG, – Teman, maka hari ini kuniatkan untuk jadi pelayanNya saja. Rumi berbisik, “Ada segumpal pagi dalam dirimu yang menanti untuk merekah menjadi cahaya”. Aku masih di dalam gelap, tapi ada segumpal pagi yang siap mencerah. Maka kucari-cari cara untuk mendaftar jadi pelayanNya. Semua penjelasan menunjukkan kerumitan yang tak bisa kulakukan. Sebagai raja, Dia maha Diraja, begitu kira-kira penjelasan yang kutemukan, maka aturan protokolernya tentulah maha aturan yang tak mudah ditempuh oleh sesiapapun secara sembarangan.
Saat itu aku teringat pementasan teater saat masih di SMA dulu, “Limapuluh Satu Batu”, judulnya. Naskah saduran Taufik Ismail dari hadis-hadis kisah, mungkin dari kita Usfuriyah. Saya pernah mementaskannya pada tahun 1991 bersama-sama teman Teater Awan SMAN 1 Serang. Naskah itu tentang seorang lelaki bajingan yang ingin memulai hidup baru, ia mendatangi banyak pemuka agama, meminta jawaban, “Apakah dosaku bisa diampuni Tuhan? Aku bosan, hidupku melulu begini?”
Pada walanya semua pemuka agama menyambut dengan tangan terbuka, “Bolehkah kutahu apakah dosa yang pernah kau perbuat?” Lelaki pendosa itu menjawab, “Semua kejahatan telah kulakukan… sebutkan dosa besar apa yang ada dalam ajaran agamamu tuan?. Pemuka agama itu menyebutkan beberapa dosa besar seperti menipu, berkhianat, mencuri, memperkosa, membunuh…”Semua sudah saya lakukan berulangkali,” jawab lelaki itu, “BIsakah Tuhan membasuh semua dosa-dosaku ini?”
Para pemuka agama geleng-geleng kepala, Satu pemuka agama menjawab, “Kamu bukan manusia, semua dosamu telah menumpuk..” Pemuka yang lain menyatakan, “Nerakalah tempatmu!”. Lelaki itu hilang harapan, lancing sudah nasibnya., niatnya bertepuk sebelah tangan.
Sampai kemudian seorang pemuka agama menyarankan, “Pergilah ke Mekkah sana, temui Muhammad Rasulullah, hanya dia yang bisa membasuhmu!”.Lelaki itu tersenyum, ada harapan di sana, di Makkah sana.
Berjalanlah lelaki pendosa itu menuju Mekkah.Pada pementasan itu, mas Toto ST Radik (Pembina tetaer Awan) menyarankan properti tambang besar yang panjang dililitkan ke seluruh tubuh, “itulah lelaki yang diringkus dosa”. Saya menyeret tambang itu, berat sungguh berat, apalagi beberapa bagian dari tambang itu dibiarkan menjulur, memanjang di belakang. Saya melangkah satu dua langkah, terhenti sebentar, memandang ke arah jauh, mengukur jarak, “Kesana aku harus sampai… ke cahaya itu”.
Langkah demi langkah terus saya usahakan, panas panggung aula SMA semakin terasa, perjalanan menjadi perjuangan menempuh jarak. Sesekali lelaki dililit dosa itu menghela nafas, “Betapa berat dosaku, betapa besar niatku bertemumu Muhammad… walau kelak kau akan menghukumku, aku hanya ingin mendengar satu kalimat darimu ‘aku menerimamu’…itu saja!”.
Perjalanan dilanjutkan, terbayang lelaki itu menempuh padang pasir dengan batu-batu tajam. Kakinya luka, bibirnya kering dan pecah, sesekali badai pasir membutakan matanya: ia terus berjalan… satu..dua langkah. Sampai akhirnya dia terjatuh, habis nafas dan meninggal di tengah padang pasir dengan lilitan tambang dosa yang begitu membebani.
Segeralah turun 2 malaikat pencatat kebaikan dan pencatat keburukan. Keduanya bertengkar, memperebutkan lelaki pendosa itu. “Ia akan kubawa,”ujar pencatat keburukan, “Ia lelaki pendosa, dosanya berjilid-jilid…jelas sudah!” Malaikat pencatat kebaikan berkata,”Ia sudah menyadari kekeliruannya, lihatlah senyumnya seperti bayi yang baru lahir…murni disepuh niat bertobat!” Syahdan kedua malaikat itu berdebat, sampai akhirnya mereka memutuskan, “Baik kita ukur saja jarak yang sudah ia tempuh dari titik awal perjalanannya, jika lebih dekat ke arah Muhammad bisa kau bawa,” ujar malaikat pencatat keburukan. “Baiklah, sebaliknya, jika lebih dekat ke titik awal berangkat, “jawab Malaikat pencatat keburukan, “itu jadi urusanmu”.
Perhitungan dimulai, satu batu demi satu batu. Hasilnya… limapuluh satu batu, lebih satu batu dari titik awal berangkatl. “Ia jadi milikmu,”ujar malaikat pencatat keburukan.
O, teman, akan kutempuh perjalanan limapuluhsatu batu untuk niatku ini. Karena satu batu saja sudah cukup membuatku semakin mendekati Muhammadku. “Bakar dirimu,”ujar Rumi, “Cari orang-orang yang bisa mengobarkan nyalamu”. Kubakar mulut, pikiran, hati, dan nadiku dengan nama Muhammad… karena satu batu saja ke arahnya sudah cukup untukku sampai pada CInta.
… aku adalah debu tanah di mana kaki Muhammad menapak.
Bisik Rumi, bisikku juga pada hari-hari puasa ini. Rumi pun membuka kuncinya:
Andai bayangan wajah Muhammad terpantul ke sebuah dinding, jantung dinding itu akan berdetak hidup. Dinding itu, berkat pantulan wajah yang terahmati, akan merasakan kebahagiaan tak terkira hingga ia akan tertolong dari kemunafikan. Ia akan merasa malu karena bermuka dua,
sedangkan (Muhammad) yang salih dan suci hanya memiliki satu wajah saja.
Berikan bayangan itu padaku, Ya Rasulullah, Wahai tuanku. Itu saja telah cukup. (Red)