Jurnal Indonesia Baru

Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto Pemilu 2019 Terburuk Dan Terparah Pasca Reformasi

JIB | Jakarta- Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyebut pemilu 2019 merupakan pesta demokrasi terparah pasca reformasi Indonesia. Hal itu diindikasikan dengan dugaan-dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Pertama dia melihat hal tersebut pada kasus yang sempat viral yang menjadikan Anggota Komisi VI DPR RI Bowo Sidik Pangarso menjadi tersangka oleh KPK yang diduga menerima suap dan gratifikasi dengan total sekitar Rp8 miliar dari suatu perusahaan.

Saat petugas komisi antirasuah menemukan uang tersebut, rupanya telah dimasukkan ke dalam amplop dengan pecahan berbeda-beda Rp50 ribu atau Rp20 ribu.

“Gambarannya (pemilu terparah) pertama ada 400 ribu amplop yang disiapkan oleh Bowo Sidik terungkap oleh penegak hukum, itu gak pernah ada sepanjang sejarah penegakan hukum di Indonesia. Bahkan lawyernya Sidik bilang bukan 400 ribu amplop, tapi satu juta. Bahkan sekarang perkembangannya di sana juga ada duit dari menteri,” kata Bambang saat berkunjung ke Bekasi

Amplop yang diduga digunakan untuk serangan fajat tersebut terhitung sangat banyak untuk melanggengkan nama Bowo ke Senayan berdasarkan dapilnya di Jawa Tengah II. Banyak yang menilai itu bukan kebutuhan Bowo semata, namun juga untuk partai.

“Dan itu di Jawa Tengah, tahu kenapa diserang (serangan fajar), karena disana perbedaan suara 2014 antara Pak Jokowi dan Prabowo itu 8 juta dan 6 juta itu disumbang oleh Jawa Tengah,” ujarnya.

Kedua, masalah yang mencatut nama Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan terkait kasus tempel amplop putih kepada Kiai Zubair Muntasir saat berkunjung ke Pesantren Nurul Cholil Bangkalan, Madura.

Pada videonya yang viral itu, Luhut juga sempat meminta kepada sang kiai untuk menyampaikan kepada santri dan sang kiai untuk datang ke TPS pada 17 April. Namun yang dipertanyakan oleh Bambang, mengapa ada imbauan dari Luhut untuk memutihkan TPS.

“Jadi bukan yang dibagi (amplop) ke pesantrennya yang masalah, tapi yang dia (Luhut) sebut ke TPS baju putih. Itu tafsirnya jadi dua, coblos baju putih atau dateng ke tempat pakai baju putih-putih. Dan saya menduga hal-hal seperti ini tidak dilakukan satu kali,” ujarnya.

Ketiga, lanjut Bambang, masalah surat suara yang tercoblos di Malaysia untuk salah satu paslon dan partai dengan caleg tertentunya yang hingga kini masih tanda tanya. Keempat, dia mengaku menemui langsung kesalahan di lapangan, berupa keterlambatan distribusi logistik pemilu dan salinan sertifikat hasil penghitungan suara TPS tidak diumumkan dengan cara ditempelkan di tempat umum oleh KPPS.

“Dan kalau itu tidak diumumkan (KPPS) itu ada pidananya, berdasar Pasal 391 jo 508 UU 7 tahun 2017, dan itu masif terjadi. Ini belom yang macem-macem (masalah lain) kalau pakai data Bawaslu, mulai dari Minggu tenang, politik uang, kemudian saya menyimpulkan pemilu ini yang paling terburuk setelah reformasi,” pungkasnya. (Andre)