JIB | Kabupaten Bekasi – Dua artis pemain sinetron Ikatan Cinta terjerat kasus prostitusi, bahkan satu diantaranya menyandang status tersangka. Mereka adalah CA yang baru-baru ini terciduk sedang melakukan perbuatan asusila di sebuh hotel di Jakarta.
Lalu beberapa waktu lalu ada TE, yang juga turut membintangi sinetron Ikatan Cinta yang tertangkap di sebuah hotel dengan kasus serupa. CA digerebek di sebuah hotel di Jakarta dan ditetapkan sebagai tersangka kasus prostitus.
Berbeda dengan TE yang terciduk di hotel daerah Semarang tapi dianggap sebagai korban dan tidak dijadikan tersangka. Selebgram dengan inisial TE itu terjerat kasus prostitusi bersama dengan warga negara asing (WNA) asal Brazil berinisial FBD.
Kasus ini terungkap Senin, 20 Desember 2021 silam, oleh Kepolisian Jawa Tengah. Saat itu diketahui TE memiliki tarif Rp 25 juta.
Menariknya 2 kasus ini yang hampir sama namun ada perbedaan status hukum keduanya bisa berbeda, terhadap hal tersebut tentu saja subjektifitas penyidik yang didasarkan hasil pemeriksaan, yang dapat berakibat adanya status hukum berbeda.
Dalam hal ini Praktisi Hukum asal Kabupaten Bekasi, Ulung Purnama, SH.MH dari Kantor Hukum UP & Partner, Kamis (06/01/2022) menyampaikan pandangannya terkait persoalan tersebut mengatakan, ” Kegiatan prostitusi sebagai sebuah perbuatan yang melanggar kaidah hukum pidana. Didalam KUHP Pasal 296 jo. Pasal 506 diatur tentang Prostitusi.
Pasal 296 KUHP Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
“Dalam bukunya R. Soesilo yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa pasal ini menjerat kepada orang-orang yang mengadakan bordil atau tempat pelacuran. Pasal ini menjelaskan bahwa akan diberikan pidana penjara bagi orang-orang yang pekerjaannya dengan sengaja mengadakan perbuatan cabul oleh orang lain dengan pihak ketiga”, Ulung Purnama, SH.MH menjelaskan dengan detail.
“Pasal 506 KUHP Barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”, Tandasnya.
“Dalam bukunya R. Soesilo juga menjelaskan bahwa muncikari adalah makelar cabul, yakni seorang laki-laki yang hidupnya seolah-olah dibiayai oleh pelacur yang tinggal bersama-sama dengan dia yang dalam pelacuran menolong, mencarikan langganan-lagganan dari mana ia mendapat bagiannya.”jelasnya.
Dari ketentuan KUHP Pada Pada pasal 296 jo. Pasal 506 tidak ada ketentuan untuk menjerat para pengguna PSK maupun PSK nya tersebut. Dalam ketentuan yang terdapat dalam KUHP hanya mengatur tentang muncikari atau penyedia jasa prostitusi tersebut.
Lalu, “Bagaimanakah kedudukan hukum Pengguna jasa prostitusi dan PSK nya? Dan bagaimana pengaplikasian hukum terhadap kasus Prostitusi ini? ” atau sederhana nya, siapa sajakah yang dijerat hukuman pada kasus prostitusi ini ?
Dalam ketentuan yang terdapat di KUHP tidak ada pasal yang menjerat bagi pengguna Prostitusi ini maupun PSK itu sendiri, dalam KUHP hanya mengatur perihal orang-orang yang menyediakan Prostitusi atau disebut sebagai muncikari. Hal ini seperti yang tertuang dalam pasal 296 jo. Pasal 506 KUHP.” Ulung Purnama, SH.MH kembali menjelaskan.
Hingga saat ini, belum ada Undang-Undang atapun peraturan yang mengatur tentang pengguna PSK dan PSK tersebut. Namun dalam pasal 284 KUHP pengguna PSK dapat di jerat dengan Pasal Perzinahan. Jadi, bilamana pengguna PSK tersebut telah memiliki pasangan resmi, maka dapat dijerat dengan pasal Perzinahan , seperti yang diatur dalam pasal 284 KUHP namun terkait pasal ini merupakan delik aduan absolut yang harus dilaporkan oleh korban dalam hal ini pasangan suami/istri yang dirugikan.
Ulung Purnama, SH.MH yang juga menjabat sebagai Direktur Kajian dan Bantuan Hukum (KBH) Wibawa Mukti kembali menuturkan, “Menurut R. Soesilo dalam bukunya juga mengatakan : yang dimaksud dengan zinah adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya”.
“Artinya, persetubuhan yang dimaksud itu adalah dilakukan atas dasar kemauan masing-masing kedua belah pihak, tidak ada paksaan dari salah satu pihak. Jadi, kegiatan prostitusi yang terjadi ini, adalah atas dasar kemauan dari seluruh pihak, dengan kata lain, seharusnya dalam kasus prostitusi ini, seluruh pihak baik pengguna PSK, dan PSK itu sendiri adalah pelaku pelanggaran norma hukum yang mendapatkan sanksi namun dalam hal ini KUHP kita belum menjerat secara hukum bagi PSK dan Pengguna PSK hanya kepada perzinahan saja, hal ini yang mengusik rasa keadilan masyarakat dalam hal ini kaum perempuan merasa ketidakadilan dalam penegakan hukum tersebut”, tuturnya.
“Adanya perbedaan status hukum terhadap kedua artis tersebut, bisa saja diakibatkan kasus ini si artis ini dinyatakan sebagai korban. Lalu, bagaimana jika dalam kegiatan prostitusi ini si artis yang meminta kepada muncikari untuk dijual kepada pengguna atau pelanggan prostitusi tersebut? Apakah Si artis ini dapat dijerat dengan pasal 55 dan 56 KUHP?”, Tegasnya.
Pasal 55 (turut melakukan) dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (membantu melakukan):
Pasal 55 KUHP:
(1)Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;
2. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
(2)Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.
Pasal 56 KUHP:
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
1.Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
3. Dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, R. Soesilo berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP adalah ” orang yang bersama-sama melakukan” minimal harus ada dua orang, yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Misalnya disini tidak bisa hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong,karena jika demikian, orang yang menolong itu tidak masuk “yang turut melakukan(medepleger)” tetapi akan dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP.
4. Kemudian dalam Pasaal 56 KUHP R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum kejahatan itu dilakukan. Jadi yang dimaksud adalah orang yang membantu melakukan tindak pidana tersebut, memberikan bantuan untuk melakukan tindak pidana tersebut, sebelum dilakukannya tidak pidana itu.
5. Dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Drs. P.A.F Lamintang, SH, mengutip pendapat Profesor van Hattum, yang mengatakan perbuatan “turut melakukan” di dalam Pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
6. Jadi, dalam kasus prostitusi artis ini sangat jelas sekali baik muncikari maupun PSK tersebut dapat dijerat dengan pasal 55 dan 56 KUHP, kerjasama antara muncikari dan PSK untuk melakukan kegiatan prostitusi tersebut adalah untuk mencapai kehendak bersama yaitu mendapatkan imbalan dan atau uang dari pelanggan PSK , dan untuk mencapai kehendak mereka bersama, mereka harus bersama-sama dalam melaksanakan prostitusi tersebut. Dalam kasus prostitusi ini, muncikari melakukan tindakan perdagangan manusia dan mengeksploitasi terhadap PSK, hal ini berdasarkan dengan ketentuan UU Nomor 21 Tahun 2007 yaitu :
7. Pasal 1 ayat (1) :
8. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, ataupenerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
9. Pasal 1 ayat (7) :Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
10. Pasal 1 ayat (8) :
11. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
12. Pasal 1 ayat (9) :
13. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya. Pasal 1 ayat (10) :
Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.
Berdasarkan pasal 1 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO) , muncikari tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai pelaku perdagangan manusia. Dimana muncikari tersebut melakukan perekrutan terhadap wanita baik dewasa dan atau anak dibawah umur, dengan mengeksploitasi nya sebagai PSK baik secara terpaksa dan atau dengan tidak terpaksa dengan melakukan pengiriman dan atau memberangkat PSK kepada pelanggan PSK tersebut. Muncikari dapat dijerat dengan berdasarkan pasal 2 UU Nomor 21 Tahun 2007, yaitu dapat dikenakan pidana penjara 3 tahun dan paling lama 5 tahun dengan denda paling sedikit 120 juta dan paling banyak sebesar 600 juta.
Namun walaupun belum ada secara khusus peraturan yang mengatur maupun dalam KUHP tentang Pengguna PSK dan PSK ini, di beberapa daerah ada sanksi bagi PSK dan pengguna nya yang dituangkan dalam peraturan daerah masing masing.
Sebagai contoh salah satu peraturan daerah yang mengatur hal tersebut adalah Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum terdapat dalam pasal 42 ayat (2) :
Setiap orang dilarang:
a. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial;
b. menjadi penjaja seks komersial;
c. memakai jasa penjaja seks komersial.
Orang yang melanggar ketentuan ini dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp. 500 ribu dan paling banyak Rp. 30 juta.Jadi, ketentuan di dalam KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat germo/muncikari/dan penyedia PSK. Pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pemakai/pengguna PSK diatur dalam peraturan daerah masing-masing.
“Oleh karena itu diharapkan perbaikan penerapan hukum agar Pengguna PSK dapat dikenakan sanksi hukum pidana, dimana dapat dimasukan dalam perubahan KUHPidana dan/ataupun dalam Undang-Undang Pornografi karena adanya perbedaan penerapan hukum ini mengusik Equality before the law atau asas persamaan di depan hukum dalam arti tidak ada diskriminasi yang bersifat negatif di muka hukum;
Sebagai sumbang saran pemikiran Saya, apabila kita melihat Pasal 1 ayat (8) UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO, dalam hal penjelasan tentang “ Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan”.
Dapat dijadikan klausul Pasal yang berpotensi sebagai penafsiran norma secara meluas dengan menambahkan “Konstitusional Bersyarat” Menarik untuk diajukan dasar dan alasan Judicial Rievew (JR) atau Uji Materi terhadap Undang-Undnag yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal ini dimana dapat diajukan Permohonan agar Pasal ini dinyatakan Konstitusional Bersyarat yang mana “kalimat pemanfaatan organ tubuh seksual harus dimaknai melakukan hubungan badan dengan menggunakan alat kelamin” atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan harus dimaknai mendapatkan “kenikmatan seksual “ , termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan”, menerangkan.
“Maka apabila Mahkamah Konstitusi sependapat dengan Saya maka kekosongan hukum tersebut dapat teratasi sebelum Undang-Undang yang bersifat definitif dibentuk oleh DPR dan Presiden, karena perbedaan pelaksanaan penegakan hukum antara Kepolisian RI berdasarkan Undang-Undang dan Pemakai Jasa PSK dijerat dengan Perda suatu daerah itupun jika ada perda sejenis seperti di Pemda Jakarta, karena sepengatahuan penulis untuk daerah Kabupaten Bekasi belum ada perda seperti Perda DKI Jakarta tersebut, hal ini menimbulkan ketimpangan hukum dan bertentangan dengan Asas equity before the law”, tutupnya.
Oleh karena permasalahan prostitusi online ini sesungguhnya bukan hanya dikelompok artis namun sudah menjamur kepada lingkungan sekitar kita dimana media sosial menjadi alat yang paling sering digunakan untuk menjalankan praktek tersebut.
Siaran Pers KBH Wibawa Mukti
Kantor Hukum UP & Partners
(Red)